Berlari



Berlari
          Berlari itu bukan hal yang bodoh tapi itu menjadi bodoh ketika berlari untuk menjauh dari masalah. Aku sangat tidak bisa menjalani sesuatu yang tidak aku suka, mungkin egoku terlalu keterlaluan tapi itulah aku. Hari itu penat sekali membuatku ingin lari sejauh mungkin yang aku bisa. Terfikir aku untuk pergi ke sebuah kota dimana kakak laki-lakiku tinggal untuk bekerja disana. Mungkin kakak heran mengapa aku tiba-tiba menghubunginya dan ingin pergi ke tempatnya. Kakakku mengijinkanku untuk tinggal sehari dua hari disana. Itu perjalanan pertamaku lebih jauh dari rumah.
            Sore itu, aku dengan tergesa-gesa menaiki angkutan umum atau yang sering disebut angkot, aku berharap aku masih punya waktu sebelum bis yang harus kunaiki selanjutnya itu meninggalkan terminal kecil yang lebih pantas disebut perempatan hehe… Aku kemudian berhenti disebuah mini market yang tidak ada dalam petunjuk kakak, mataku masih mencari toko roti yang kakak bilang yang seharusnya aku berhenti disana. Meski aku mencari-cari toko roti itu tapi aku tidak terlalu memperdulikan toko roti itu sebenarnya, satu yang terus kupikirkan yaitu bis-nya ! apa masih ada, apa sudah pergi dan bagaimana jika sudah pergi? Aku tak ingin kembali lagi pulang karena tertinggal bis oh hello…itu akan menjadi sebuah pelarian yang gatot alias gagal total haha…
            Tak lama kemudian bis yang kutunggu menghapiri kulihat trayeknya sama dan itu memang benar bis yang pernah kakak tunjukan padaku. Aku segera menghentikannya dan masuk kedalam bis full ac itu. Aku mencari-cari tempat duduk namun bis sudah hampir penuh dan hanya satu kursi yang kosong dibarisan tengah jadi aku tidak bisa memilih selain duduk ditempat duduk yang satu itu. Kulihat sepintas selagi hendak mendaratkan tubuh dikursi empuk itu terlihat sesosok yang lumayan keren dengan jas hitam dan tas ransel dibawah tempat duduknya.
            Aku duduk dengan tenang memandang ke sekeliling kemudian dari sebelah kanan jalan terlihatlah toko roti yang kakak maksudkan hehe...aku tertawa kecil seraya dalam hati berkata “Ternyata toko itu belum terlewat”. Kembali aku memandang kesekeliling termasuk ke arah kiri jalan dan tentu saja kulihat jelas sekarang orang yang duduk disampingku itu lalu kemudian kita saling melempar senyum. Belum sepenuhnya tenang hatiku saat itu karena aku mangkir dari pekerjaanku esok hari. Aku bertanya pada diri sendiri “Kenapa aku harus pergi?” dan hatiku menjawab “Untuk sebuah ketenangan”
            Ku nikmati setiap alunanan roda bis yang berputar menyusuri jalanan ibu kota. Kulihat ke kanan dan kekiri tak ada pohon cemara hanya ada bangunan tinggi yang kerap sekali kulihat yang telah menggantikan pohon cemara. Tanpa terduga tas ransel hitam yang berada dibawah kaki orang yang duduk disampingku itu terjatuh ke arahku membuat kita berdua saling menunduk.
“Maaf” ujarnya seraya membetulkan posisi ranselnya yang kini dijepit kedua kakinya
“Oh tidak apa-apa” tembalku kembali menyandarkan tubuh ke sandaran kursi
            Hening sejenak kita rasakan sampai akhirnya kita berdua tertawa karena ucapan yang kita lontarkan sama sekaligus berbarengan. “Mau kemana?” itu kata yang samanya. Kujelaskan akan kemana aku pergi dan begitupun sebaliknyaa. Kita sedikit berbincang dan ternyata dia seorang yang sibuk yang mengelola suatu perusahaan dagang, perjalanan itu merupakan perjalanan dia pulang didaerah yang sama dengan kakakku namun tepatnya tidak terlalu aku tanyakan detil.
            Setelah kita banyak berbincang kesana kemari akhirnya tempat yang dituju sudah hampir sampai dan si kondektur menghampiri memberi tahuku bersiap-siap untuk turun. Sebelum itu aku berpamitan dulu dengan orang itu yang tidak ku ketahui namanya kemudian aku berjalan menuju pintu keluar bis. Perlahan dengan hati-hati aku menuruni bis itu dan seperti biasa aku bak orang hilang dengan menenteng dua tas cokelat yang biasa kupakai bekerja. Aku melihat kesekeliling yang ramai dengan lalu lalang kendraan dan orang-orang yang lewat dengan berbagai aktivitasnya. Ku hirup udara senja yang menyelimuti, kudengar suara bising dari langit lalu kupandangi langit biru berawan yang hampir merededup karena matahari hampir tenggelam dan suara itu ternyata suara pesawat terbang yang menyapaku sesampainya disana. Aku tersenyum “hhmm…aku berada dibagian belahan ibu kota” pikirku.
            Ini memang bukan yang pertama kalinya aku pergi ke kota ini tapi ini yang pertama kalinya aku kesini seorang diri dan ironisnya bermodalkan nekat karena aku bosan, penat dan complicated deh dengan masalah yang sedang aku hadapi. Aku kemudian menyebrang jalan lalu berjalan sesuai petunjuk kakak dan menyebrang jalan lagi lalu kemudian aku bertemu dengan kakak yang sudah siap menjemputku.
”Bagaimana perjalananmu?” tanyanya ditengah perjalanan menuju tempat snggahnya
“Seru dan mudah ternyata akses jalan menuju kesini sama seperti yang kakak tuturkan” tembalku
            Dari pertanyaan kakak tadi aku jadi ingat tentang cowok yang duduk bersama berbincang itu. sayangnya aku tak tahu siapa namanya dan apakah kita bisa bertemu lagi atau itu pertemuan pertama dan terakhir hhmm..aku benar-benar tak tahu.
            Tiba akhrnya aku dengan yang namanya waktu istirahat, kakak bilang tempatnya kecil jadi tidak usah mengeluh. Pikirku mana mungkin aku mengeluh memangnya aku orang macam apa yang sudah numpang harus mengeluh lagi. Aku berincang ya bisa dibilang curhat-curhatan gitu lalu aku merenung sejenak selagi kakak membeli makan malam kita.
            Aku berfikir jika aku seorang laki-laki tentu aku tidak akan seperti ini mungkin aku akan lebih dewasa termasuk mengartikan masalah pekerjaan yang sedang aku hadapi. Aku jadi teringat ibuku yang merasa terbebani karena kedua anak perempuannya yang cenderung manja dan sedikit arogan. Kita selalu membuat ibu kesal karena manja kita tapi setelah dipikir dengan tenang aku tak bisa menjawab kenapa aku sperti itu sejak kecil bahkan hingga sekarang. Kalau mereka bilang aku tak pernah mencoba untuk berubah itu salah besar karena aku selalu berusaha untuk merubah sikap dan sifatku yang buruk tapi hasilnya nihil. Dan jika mereka tahu aku disni melarikan diri dari masalahku maka itu merupakan suatu hal yang teramat sangat mengecewakan setelah apa yang aku mau mereka turuti. Bukan aku tidak bersyukur dan tidak sayang pada mereka tapi aku juga punya batas kemampuan menahan diri untuk menyukai sesuatu hal yang tidak aku suka. Doa selalu aku panjatkan untuk bisa seperti ayah dan orang-orang lainnya yang berprofesi sama denganku dan bahkan lebih professional.
            Selagi pikiranku berjalan-jalan seseorang mengetuk pintu lalu aku membukanya dan surprise yang kutemui bukan kakakku tapi orang itu orang yang tadi duduk berbincang dibis dan tak lama setelah kita diam terpaku didepan pintu itu kakakku datang dengan menenteng bungkusan makan malam kita. Lalu kita makan malam bersama dan ternyata orang itu Kak Chiko namnya yang tinggal disebelah itu artinya kakak dan kak Chiko bertetangga dan kenal akrab. Sungguh itu tidak terduga dalam hati yang kacau trnyata masih ada yang memegangi hati ini erat-erat.
            Ini hanya cerita sebuah perjalanan. Yaeh, it’s not real ! J

Komentar