Kembali lalu Tenggelam

Hembusan angin kemarau yang kering menerbangkan geraian rambutku seraya berkata “lihatlah matahari telah benar-benar bersinar dan mendungpun takan lagi ada”. Sebuah angin telah mengantarkanku pada sebuah senyuman. Senyum yang menghidupkan sisi lain dari diriku menggetarkan dadaku, membutakan mataku, dan menyesakkan nafasku membuatku seolah-olah aku adalah bunga yang ingin selalu berada dibawah sinar matahari yang cerah secerah senyumnya itu. Rasa ini belum pernah aku alami sebelumnya maka kebingunganpun melandaku menjadikanku seakan akan aku itu ikan yang terjerat dalam jaring nelayan yang menghilangkan kebebasan dalam gerak. Tak satupun tau tentang perasaan ini hanya aku dan tuhan yang tau, begitu rapi namun sakit aku menyimpan rasa ini. Aku tak berani berkata apapun pada siapapun tentang perasaan ini. Ini terjadi ketika aku masih duduk di bangku SMA dan hingga saat ini rasa itu terus hidup dalam hatiku. Dia yang selalu duduk tepat berada disampingku tak jarang menjahiliku, terkadang aku marah namun aku bahagia karena itu salah satu hal yang meringankan beban dalam rasa yang selalu ingin ku ungkapkan itu. Kebersamaan kita selalu kunikmati setiap detiknya tanpa dia tau betapa berat rasanya memiliki perasaan yang tak bisa diungkapkan malah ini tak boleh untuk diungkapkan. Jika aku nekat untuk mengungkapkannya mungkin akan ada pertengkaran hebat yang mengguncang persahabatan menjauhkan kita. Ini memang bukan salahku jika akhirnya aku memiliki rasa itu namun belum tentu ada yang sependapat dengan opiniku.
            Rasa itu kupendam berlangsung dua tahun hingga tibalah aku dalam masa dimana perpisahan yang kutakutkan itu terjadi. Aku dan kawan-kawan lulus dari SMA, masih dalam rasa yang terpendam aku hanya berharap dia bisa melanjutkan pendidikannya bersama-sama denganku tanpa ada ajakan yang terucap dari mulutku. Dalam anganku jika kita melanjutkan pendidikan bersama maka peluang untuk bisa mengungkapkan rasa itu semakin besar karena aku tau penghalang yang selama ini menghalangiku tidak ikut bersamaku. Namun tuhan berkehendak lain kita tidak ditakdirkan satu naungan pendidikan lagi. Aku mengikuti saran ayah untuk melanjutkan pendidikan di Jakarta bersama kakaku, kupikir dia seorang laki-laki yang kuat nan berani akan pergi ke kota orang seperti aku. Namun ternyata dia tetap berada di Bandung karena kondisi orang tuanya yang tak mungkin dia tinggalkan tapi itulah tanggung jawabnya pada keluarga yang menjadikan dia masih laki-laki yang kuat nan berani dimataku. Sepintas mendengar itu keputusanku untuk ikut bersama kakak ingin ku ubah, ingin ku beri ayah sejuta penjelasan agar aku bisa tetap tinggal disini. Tapi sesaat sebelum aku hendak melakukannya, wanita di ujung gagang telepon itu berkata bahwa dia berada di salah satu Universitas yang sama dengannya di Bandung. Terdiam aku mendengarnya dan jika aku memutuskan untuk berada di Universitas yang sama yang wanita itu sebutkan rasanya aku tak sanggup memendam perasaan itu untuk yang kedua kalinya jadi aku putuskan untuk tidak mengubah keputusanku untuk pergi ke luar kota.
            Satu jam sebelum aku berangkat ke Jakarta telepon genggamku berdering sontak terkejut terlihat namanya memanggil, karena itu tak pernah terjadi biasanya dia hanya mengirim pesan singkat yang sangat singkat, saking bingungnya dikamar aku berdiri mondar mandir ingin ku angkat namun serasa tak sanggup. Kuberanikan diri untuk mengangkat teleponnya yang mungkin itu untuk yang terakhir kalinya, saat kuterima teleponnya tak ada jawaban dan aku yang dalam keadaan serasa tercekikpun diam hingga akhirnya keluar kata dari mulutku “Hallo” sungguh itu seperti balon yang meletus rasanya plong namun kembali aku serasa tercekik. Diujung sana suarapun terdengar begitu jelas sedikit keras seakan memaksa membuatku merinding terkesima bahwa seperti ini suara dia jika ditelepon tak jauh beda rasanya sama indahnya seperti aslinya. Sebelum dia focus pada tujuannya meneleponku dia mencairkan suasana dulu dengan berbasa basi dan bersenda gurau. Kemudian setelah menghangat dia mulai banyak bertanya kenapa dan ini dan itu, hingga sampailah pada perbincangan yang mulai terasa mencekik lagi.
“hei Vita kau benar-benar mau pergi ya?”.
 “iya”.
 “Tak bisakah tinggal disini nanti kita masuk Universitas yang sama disini, bukankah itu sangat menyenangkan?”
“iya, tapi tidak bisa ”
“Kenapa? kau tak ingin lagi berjumpa denganku?”
“Tidak., bukan begitu”
“Lalu kenapa???”
            Tak kusangka dia berkata seperti itu, itu tampak jelas dia mencegah kepergianku tapi aku tak bisa meski akhirnya kita bisa saling cinta lalu bagaimana dengan wanita itu diapun begitu berarti bagiku. Tak bisa aku menjawab lagi pertanyaannya air matapun mulai menetes dan dadapun mulai semakin sesak. Sementara aku diam dan suara diujung sanapun mulai cemas.
“Vita”
“Hei kau masih mendengarku?”
“Taa..?”
“Hallo”
“Iya, aku mendengarmu” (dengan nada yang terbata-bata)
“hhmm..Ta Jangan Pergi !!”
            Akhirnya dengan sangat jelas dia tak ingin aku pergi, apa yang harus aku lakukan aku benar-benar bimbang antara bahagia bercampur haru nan sakit hati ini. Aku tak ingin menyakiti siapapun tapi bagaimana dengan diriku oh tuhan bagaimana. Tangisanku mulai terdengar aku tak bisa lagi menahan suara getaran bibirku sendatan nafasku dan rasa tercekikku sudah sampai diujungnya.
“Taa..kau menangis ya?” Kenapa?”
“Kakak sudah menunggu, selamat tinggal Dika” (nada yang tak bisa kujelaskan)
Suara lirih mulai terdengar dari ujung sana “Tapi, Taa…”
“Aku akan merindukanmu”
            Sebelum dia berkata apapun lagi aku sengaja berkata sedikit menjauh dari gagang telepon berkata “iya, sebentar” seakan ada yang mengajak aku berbicara selain dia yang disana.
“hhmm..baiklah, aku akan merindukanmu juga. bye Vita, baik-baik ya disana”
“Bye, terima kasih” (masih dengan nada yang berat)
            Percakapanpun berakhir tanpa jawaban yang jelas. Tak lama kemudian aku yang masih dalam keadaan tak tentu meninggalkan kota Bandung bersama ayah, ibu, dan kakak serta hujan gerimis yang mewakili perasaanku.
            Tiba disana pada malam hari dan aku tak ingat lagi hingga pagi menyongsong barulah aku sadar. Kutatap wajahku dicermin dalam-dalam kemudian teringat suara itu suara yang membuatku menangis lagi. Hari-hari kujalani dengan tidak begitu semangat disini hingga kurang lebih dua minggu. Kakaku yang mengerti aku tanpa dia bertanya kenapa dan ada apa dia berusaha membuatku nyaman dan ceria dengan mengajakku kesana kemari ketempat yang dia ketahui bersama kawan-kawannya, lambat laun akupun mulai lupa dan menyukai kota ini dan juga semakin akrab dengan teman-teman kakak serta teman-temanku dikampus. Awalnya aku sering berkirim e-mail bersama Shinta sahabatku dan juga dia di bandung, namun lama-lama itu tak lagi kulakukan sejak Shinta curhat tentang pacar barunya yang merupakan teman sekelas kita dulu waktu di SMA. Bukan aku iri karena sahabatku itu berhasil punya pacar lebih dulu dari aku namun ini semacam ada luka yang tergores kembali kemudian menimbulkan rasa perih yang sangat menyakitkan.
            Tiga tahun sudah aku tak tau kabar orang-orang yang ada di Bandung terkecuali ayah dan ibu yang sering mengunjungiku sebulan sekali. Kubuka e-mail kuliahat begitu banyak pesan masuk yang salah satu pesan terakhir itu dari Shinta yang isinya “Hai Nona manis, bak kapal laut yang tenggelam didasar laut saja kau, tak ada kabar beritanya lagi. Aku dan teman-teman disini merindukanmu. Apa kabarmu? Kapan kau akan pulang? Oya libur panjang kan bulan depan apa kau bisa pulang? kita akan mengadakan reuni setelah tiga tahun tak jumpa. Balas ya Vitaaaaaa…….aku menunggu J J “ . Ternyata dia memang sahabatku meski seolah aku meninggalkannya dia selalu ingat aku dengan terus mengirimiku e-mail dua minggu sekali.
            Liburanpun tiba dan akupun memenuhi permintaan Shinta, aku pulang dan langsung membuat janji bertemu dengannya ditempat yang dulu ketika SMA kita sering nongkrong bersama dan itu tidak lain di Kedai Batagor khas Bandung kang Udin yang letaknya tidak jauh dari SMA kita dulu. Aku yang datang lebih awal ternyata terkesima melihat kedai itu yang sudah berubah elit mengikuti perkembangan Zaman akupun tidak sabar lagi ingin mencicipi batagor mang Udin yang sudah tiga tahun tidak kutemui disana, sambil menunggu aku mulai makan kemudian tiba-tiba dari kejauhan seseorang melambaikan tangan sembari berteriak “Vitaaaaaaa” seseorang yang hampir tak ku kenal berambut panjang hitam bergelombang serta kaca mata mengiasi wajahnya. “Shinta” kupeluk dia kucubit pipinya yang sedikit menggembung seperti bakpau.
“kau kah itu? Aku hampir tak mengenalimu teman kau semakin cantik, kau mengenakan kaca mata sekarang”
“Aahh..Vita pandai kau memuji. Iya Ta mataku sedikit tak beres sekarang.”
“Maaf ya Shin, aku ga sempet bales atau ngirim e-mail padamu.”
“oh..tidak apa-apa sahabatku, dengan kau baca satu pesanku saja kemudian ingat aku itupun sudah sangat senang sekali”
            Shinta memang benar-benar sahabat baikku. Dia tak henti bercerita panjang lebar tentangnya disini dan tak henti bertanya tentangku disana. Lalu ditengah-tengah percakapan seseorang menelponnya.
“Sebentar ya Ta, pangeranku didepan. Kau akan terkejut nanti siap-siap ya jika dia sangat ganteng dari yang kau kira hehe..”
“hehe..” (senyum memaksa yang keluar sembari mengunyah batagor)
            Aku tak akan terkejut karena sudah kupersiapkan jauh-jauh hari aku sudah tau siapa laki-laki itu. Mungkin Shinta sendiri yang akan terkejut jika aku katakan pangerannya itu seorang yang aku cinta sejak lama sejak kita dibangku SMA, cinta yang belum kelar.
“Vitaa..perkenalkan ini dia pangeranku”
Saat aku mengangkat kepalaku dari posisi menunduk, terkejutlah aku mungkin seperti yang Vita bayangkan. “DANI”
“hai Vita masih ingat rupanya, bagaimana mau minta maaf atas julukan kucing putih?hehe”
“hehe..jaa..di kau itu pangeran dambaan shinta?” (masih dalam keadaan kaget)
“tentu saja Vita cantik dia itu pangeranku, naah sudah kubilang jangan kaget masih juga kaget”
“oh baiklah kucing putih aku minta maaf hehe..ini terakhir kalinya aku memanggilmu seperti itu karena kau sudah menjadi kucing hitam haha...”
“hahaha..” (semua tertawa)
            Aku masih tidak percaya bahwa yang selama ini Shinta ceritakan sebagai pangeran yang dicintainya itu Dani yang dulu sering kusebut si kucing putih karena dia bertubuh putih mulus bak kucing putih yang lembek, ternyata aku salah mengira kalau itu Dika. Lalu apa yang aku lakukan pada perasaanku sendiri juga perasaan Dika saat pertama kali dan terakhir kalinya dia berbicara lewat telepon denganku tiga tahun lalu. Semua e-mail yang masuk jarang aku balas, no ponselku sudah ku ganti hingga dia tak bisa menghubungiku lewat ponsel jangankan dia Shinta saja baru tahu no ponselku kemarin. Aku merasa ingin kuputar kembali semua yang telah terjadi, ingin aku tetap tinggal denganya disini. Jika saja dulu aku tau ini aku mungkin sudah bersamanya, tapi jika Shinta tidak bersama Dika berarti masih ada harapan untuk aku mencari tau Dika di reuni nanti lusa.
            Malam itu aku tidak bisa tidur jadi kuputuskan untuk bergadang, kubuka kembali akun chatting yang telah lama aku tinggalkan. Disana tertera nama teman-teman sewaktu SMA namun tak ada satupun yang lampunya menyala hijau termasuk Dika. Mungkin saja dia juga sudah meninggalkan kebiasaan masa lalu seperti yang aku lakukan. Yang masih terlihat aktif hanyalah teman-teman di Jakarta. Rafka salah satunya dia itu sahabatku di Jakarta. Malam semakin larut obrolanpun semakin tidak nyambung mungkin Rafka sudah mengntuk karena aku masih belum mengantuk. Tiba-tiba cling lampu hijau menyala untuk nama Dika. Aku yang tadinya memutuskan untuk keluar dari akun diam sejenak. ” Apa itu benar? apa aku tidak salah lihat itu kan Dika hhmm..mungkinkan..mungkinkah..aku bisaaa…” pikirku ga karuan. Kali ini aku tidak membuang kesempatan lagi aku mulai membuka chat untuknya dengan sapaan “hai”. Tak pernah terbayangkan aku dan Dika saling berkomunikasi lagi setelah sekian lama terputus karena kebodohanku itu. Aku dan Dika mengobrol hingga tak terasa aku tertidur dimeja kerjaku.
            Reuni masih hari esok, belum terlambat untuk aku dan Shinta pergi berbelanja. Banyak hal yang kita lakukan seharian itu yang sudah lama kita berdua tidak laakukan. Sungguh kebahagian yang tertunda mengapa aku harus berpikir kalu Shinta menyukai Dika, seharusnya aku tau kalau itu tidak mungkin dan D itu untuk Dani dan yang Shinta sebut pangeran itu Dani karena dia yang menjadi pangeran pengganti Dika yang sakit dan berpasangan dengan Shinta saat drama kelas waktu itu, betapa cinta membodohi aku. Malam harinya aku tak bisa tidur lagi dan aku membuka akun chatting lagi siapa tau Dika muncul lagi. Ternyata dugaanku benar kita chatting kembali hingga larut malam, bercerita tentangnya dan tentangku serta masa lalu. Bahagia rasanya mengapa tidak sejak dulu aku merasakan ringannya hati ini. Rasanya aku tidak ingin mengakhiri percakapan kita namun mata yang lelah tak bisa ditahan lagi. Ungkapan-uangkapan rasa rindu rasa sayang Dika membuatku tak sabar untuk bertemu besok sore. 
            Hari yang kutunggu akhirnya datang juga. Aku berangkat bersama dengan kakakku biasanya kita bertiga bersama calon kakak iparku ka Iren tapi dia kan tidak tinggal disini jadi kita hanya berdua saja, meski begitu disana aku bertemu teman-teman kakak yang selalu mencubit pipiku seakan aku anak TK. Usia aku dan kakak tidak terpaut jauh jadi saat reuni sekolah angkatan kitapun menyatu. Kita selalu bersekolah ditempat yang sama bahkan sampai sekarang,  dialah kakak yang selalu ada untukku dialah kak Ranggaku yang ku sayang. Teman-teman yang kutemui banyak yang berubah namun ada juga yang masih terlihat sama. Ketika Shinta meninggalkanku sebentar untuk mengambil kue, aku berjalan ditengah pesta mencari-cari yang sangat ingin aku temukan kembali setelah lama tenggelam. Saatku menoleh ke arah kanan kulihat sesosok laki-laki muda dengan tangan kanan memegang cangkir lemon dan tangan kiri dalam saku celananya, dia berpostur tinggi nan tegap, berakaian rapi berjas hitam dan sungguh dia benar-benar dia yang kurindukan. Kita saling menatap dan mendekat setelah berada cukup dekat kita berdua tersenyum lalu dia mulai berkata:
“hai Vita, jumpa lagi dalam nyata” (senyum yang cukup berarti)
“hai, akhirnya. Kau tak banyak berubah, apa kau masih menyimpan permen dalam sakumu. Hehe”
“hehe..tentu saja, kau mau satu? Strawberry manis.”
            Disodorkanya permen itu dan akupun menerimanya masih dalam senyum yang kaku bersama bibir yang bergetar dengan mata tetap tertuju padanya tanpa berkedip sekalipun. Tak lama Shinta datang dari arah belakang Dika bersama seorang wanita yang takku kenal namun mereka berdua terlihat akrab lalu mereka menghampiri kita berdua yang belum sempat berbicara banyak.
“wooyy..kucari-cari ternyata kau disini Ta” ucap Shinta sembari menepuk bahuku
“yaaa aku haus jadi beranjak untuk mencari tempat minum”
“lalu mana minumanmu?”
“belum sempat ku ambil, keburu ketemu Dika”
“ooohh gituuu”
            Shinta lalu mengjak ngobrol Dika dan wanita itu, sementara itu aku perhatikan ada sesuatu yang sangat mengganjal dengan wanita itu. Wanita itu berdiri disamping Dika lalu saat mengobrol tangannya memegang lengan Dika dengan manja sungguh aku sangat ingin berteriak untuk mengatakan siapa wanita iniiiiiiii???. Pertanyaan dalam hatiku terjawab cepat saat mereka menyadari aku tercuekan.
“heh diem aja sih Ta?” tanya shinta padaku
“Tidak, hehe..” (gugup)
“jelas-jelas iya, yakan Shin?” samber Dika
“iya”jawab Shinta
“kamu dari dulu hobby banget bilang tidak, itu yang bikin aku kangen kamu teman tersayangku yang lucuu” (kata Dika lagi dengan mengusut-ngusut rambutku dan juga tawa yang disertai tawa Shinta dan wanita itu yang hanya tersenyum.)
“oya Ta, sampai lupa kenalin nih Rika”. Lanjut Dika
“oh hai Rika, senang berjumpa denganmu” tembalku yang masih bengong penuh tanya sembari berjabat tangan
“hai, Vita, senang juga berjumpa denganmu” balas Rika
“sebentar lagi mereka menikah lho Ta, jadi iri iya kaan?” ucap Shinta sambil merangkulku
            Hatiku terasa hancur berkeping-keping mendengar itu. Seperti hancurnya permen yang aku jatuhkan ketika Shinta berkata mereka akan segera menikah. Tak perlu penjelasan panjang lebar lagi tentang siapa wanita itu, kata-kata itu sudah cukup hingga membuat aku ingin segera lari sejauh mungkin yang aku bisa. Senyum menahan tangis tak bisa aku lakukan lebih lama lagi tak tahan aku melihat senyum mereka berdua yang malu-malu, lalu aku segera melepaskan rangkulan Shinta sambil mengambil permen yang aku jatuhkan dan mengusap sedikit air mata yang telah menetes kemudian berkata:
“Maaf, aku mau minum. Kau mau ikut Shin?” (dengan muka tak lagi melihat kearah Dika aku langsung berjalan melewatinya)
“oke, aku ikut. Pergi dulu ya Dika.” Ujar Shinta dengan ceria
Dengan sangat berat aku berkata lalu melangkah dengan cepat meninggalkannya menjauh dari kerumunan. Tak peduli apa yang mereka pikir yang pasti aku ingin lari dari tempat itu. Shinta yang merasa aneh mengikutiku, mengejarku serta merangkulkan tangannya pada leherku “hei tunggu, bukankah itu tempat minum? kau melewatinya Ta” kata-kata Shinta tak kudengar aku terus berjalan lurus dengan kasar tak peduli siapa dan apa didepanku, aku keluar dari pesta hingga akhirnya tepat didepan pintu keluar Shinta menghentikan langkahku dengan berdiri tepat dihadapanku. Wajahku yang menunduk dia tegakkan meski aku mengelak untuk menatapnya namun dia memaksa. “kau menangis Ta, kau kenapa?”. Tanpa menjawab pertanyaan aku memeluk Shinta erat-erat, aku menangis hingga aku tak tau seberapa kuat aku menagis mungkin aku akan membanjiri pesta jika aku menangis didalam tadi. Aku pulang lebih awal diantar Shinta dan Dani tanpa kakak tau, sesampainya dirumah ibu dan ayah kebetulan sedang pergi mengunjungi paman yang sedang sakit jadi tak ada pertanyaan dari mereka. Kemudian kakak menelpon dan Shinta yang mengangkat memberi penjelasan yang cukup membuat kakak percaya. Aku yang masih diam tanpa sepatah katapun membuat Shinta semakin bingung. Lalu Shinta memutuskan untuk pulang setelah aku tertidur dan ayah ibuku kembali dari rumah paman serta kak Rangga juga sampai dirumah. Mereka percaya kalau aku sakit perut karena minum lemon tadi, meski aneh tapi mereka percaya.
Esok hari kutelpon Shinta memintanya untuk bertemu ditaman komplek tempat yang tidak jauh dari rumahku dan juga rumah Shinta. Aku akan kembali ke Jakarta kuputuskan untuk mempercepat liburku disini dan sisanya yang banyak untuk disana. Sesampainya ditaman dengan wajah yang suram aku menceritakan masalah kenapa malam itu aku seperti orang gila yang membingungkan Shinta.
Aku tak menyangka akhir dari perjumpaanku ini seperti itu. Dengan riang gembira aku menyambut pertemuan ini berharap aku akan bersamanya. Sekian lama aku pergi dan aku kembali tanpa berharap lagi namun kesempatan dan kenyataan telah mengantarku pada harapan yang telah lama tenggelam. Cinta telah membodohiku untuk tidak mengatakan yang sebenarnya terjadi meski dia sahabatku sendiri. Menyakiti diri dengan memendam perasaan, menerka-nerka sebuah tanya, membuang kesempatan yang tak terjadi dua kali dengan melupakan adanya sahabat untuk berbagi serta perasaan yang tak ingin menyakiti orang lain. Sekalipun kenyataannya seperti yang diterka tentu sahabat takkan lari takan benci sebab seburuk-buruknya seseorang yang dijadikan sahabat tetap dialah sahabat. Dan tak ada yang salah dengan Cinta jika kita mampu menyikapinya dengan baik dengan tidak berburuk sangka dan selalu mencari tahu kebenaran sebelum menyimpulkan kebenaran itu. J
            Kubiarkan cintaku pada Dika itu kembali tenggelam dengan tidak mengijinkan untuk muncul kembali esok hari. Yang sudah biarlah sudah yang berlalu biarlah berlalu, kini lihatlah saja yang ada di depan mata. Seperti yang tak kusangka seseorang menjemput kepulanganku ke Jakarta tak tahan dia menunggu, seseorang yang amat merindukanku, seseorang yang tak kusangka mencintaiku tiga tahun terakhir ini, dialah Rafka sahabat juga kekasih tercintaku saat ini esok dan selamanya. Bersama hujan Cinta kutenggelamkan dan bersama angin Cinta baru datang menghampiri menyadarkan perkataan angin waktu lalu yang berbunyi “lihatlah matahari telah benar-benar bersinar dan mendungpun takan lagi ada”.

Terinspirasi ketika gue pengen move on hahahaha....

Karya: Niken resminingtyas

Komentar